11 September 2012 hari selasa
Pertama aku turut bersyukur atas Lulusnya "temanku" dan juga "dia" dari pelatihan guru yang dinamakan PLPG. Hari hari dijalani oleh mereka dengan nampak sangat sabar, tiap pagi anak- anaknya ditengok kemudian yang besar diantar ke sekolah, sedang yang kecil bermain dirumah kakeknya. Pagi mereka belajar dengan seriusnya sore pulang dengan membawa tugas yang sangat banyak, hari pertama berlalu, kedua , ketiga dan seterusnya sampai akhirnya tiba saat ujian. Mereka dengan tetap sabar dan tentu dengan berdoa memohon hanya pada Allah semoga diluluskan untuk kebahagiaan anak mereka..., bahkan anak yang besar sempat bertanya Bapak hari ini mulai PLPG tho?, walau dia tidak tahu apa itu PLPG, tapi dari wajah anak kecil ini, dia seakan ikut mendoakan ayah dan ibunya agar "sekolah" ayah dan ibunya lulus.
Sepuluh hari sudah akhirnya mereka berpisah dengan teman-teman PLPG masing-masing, harapan untuk lulus tetap terbersit di wajah teman-teman termasuk ayah dan ibu anak itu...,
Akhirnya hari senin tanggal 3 september 2012, ayah dan ibu anak itu dinyatakan lulus,.. dan seakan doa anak mereka turut di dengar oleh Allah SWT.
Satu atau dua hari sebelum pengumuman, ayah dan ibu itu telah berencana mendaftar haji menuju rumah Allah...ternyata Allah telah "mengetahui" keinginan hati "temanku" itu dan "dia"..
Ya Allah jadikan kelulusan mereka menjadikan mereka lebih ikhlas dalam kerja mereka, lebih mendekatkan diri mereka kepada Mu ya Allah..., dan dua anak mereka yang turut berdoa untuk ayah dan ibu mereka benar-benar menjadi anak sholeh sholeh yang suatu saat menjadi ulama ulama di negeri mereka..., mulya di sisiMu ya Allah....
Selasa, 11 September 2012
Minggu, 08 Juli 2012
Betah
Berdiri Shalat Ringan Menanti Hisab
Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA
berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membaca firman Allah,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ
الْعَالَمِينَ
” (yaitu) hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Rabb semesta alam.”
(QS al-Muthaffifin 6)
Lalu beliau bersabda, “Bagaimana
nasib kalian saat Allah mengumpulkan kalian sebagaimana mengumpulkan anak panah
di wadahnya selama 50.000 tahun, kemudian Allah tidak memperhatikan kalian.”
(HR al-Hakim, beliau mengatakan shahih, adz-Dzahabi menyepakatinya begitupun
dengan al-Albani))
Yaumun
‘Azhim, Hari yang Berat
Betapa berat peristiwa itu, tak
terkira gerahnya penghuni makhsyar kala itu. Banyak wajah tertunduk, banyak
hati gentar dan ketakutan, sedangkan jasad merasakan kelelahan. Karena dalam
jangka waktu yang lama mereka berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin sementara
matahari didekatkan jaraknya di atas kepala hingga satu mil. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam bersabda,
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ
“Matahari didekatkan kepada manusia
pada Hari Kiamat hingga jaraknya dari mereka hanya satu mil. “(HR Muslim)
Sulaim bin Amir yang meriwayatkan
hadits tersebut mengatakan, “Demi Allah aku tidak tahu maksud satu mil. Apakaha
yang dimaksud mil adalah satuan jarak, ataukah ‘mil’ yang biasa dipakai manusia
untuk bercelak mata.”
Taruhlah kita ambil makna ‘mil’
dalam hadits tersebut adalah satuan jarak, maka alangkah dekatnya jarak
tersebut. Bandingkanlah jarak jarak matahari dengan bumi sekarang ini. Di
antara ilmuwan mengatakan bahwa jarak antara keduanya adalah 149.680.000 km
atau 93.026.724 mil. Pun begitu, kita sering mengeluh kegerahan. Lantas
bagaimana keadaan manusia yang berdiri selama 50.000 tahun dengan tanpa alas
kaki dan tanpa pakaian, sementara matahari hanya 1 mil saja di atas kepalanya?
Ketika itu, terjadilah banjir
keringat sesuai dengan kondisi amal masing-masing tatkala di dunia. Nabi
shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
“Maka manusia akan berkeringat sesuai dengan
kadar amal mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya mencapai kedua mata
kakinya, ada yang mencapai kedua lututnya. Dan di antara mereka ada yang
keringatnya mencapai pinggangnya, dan adapula yang tenggelam oleh keringatnya
–dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengisyaratkan dengan
tangannya ke mulut beliau.” (HR.Muslim)
Untuk peristiwa itulah seharusnya
kita siapkan perbekalan ”liyaumin ’azhiem”, pada hari yang besar, hari yang
dahsyat dan berat.
Ringan
Bagi Orang yang Beriman
Dengan berbagai peristiwa yang
menakutkan, juga jangka waktu yang begitu lama tersebut, tidak semua manusia
mengenyam rasa pahit dan derita. Ada orang-orang yang diringankan keadaannya
oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang beriman. Ketika mereka telah
bersungguh-sungguh untuk berdiri menghadap Allah ketika shalat di dunia, maka
Allah akan meringankan mereka, pada hari di mana umumnya manusia berdiri
berdiri dengan berat di hadapan Allah pada hari Kiamat.
Imam Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnu
Hibban meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa seseorang berkata,
“Alangkah lamanya hari (di makhsyar) itu?” Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam
bersabda,
“Demi yang jiwaku ada di tangannya,
sesungguhnya hal itu akan diringankan atas orang mukmin, hingga ia rasakan
lebih ringan dari (menjalankan) shalat wajib ketika di dunia.” (HR Ahmad,
al-Haitsami mengatakan sanadnya hasan)
Subhanallah, sekian lama berdiri
hanya dirasakan seperti berdiri satu kali shalat wajib, yang hanya berlangsung
beberapa menit saja.
Orang-orang yang mengharapkan ringan
urusannya di saat berdiri pada hari Kiamat menanti hisab, mereka akan berusaha
konsisten dan khusyuk tatkala berdiri dalam shalat. Baik di waktu shalat wajib,
maupun ketika shalat-shalat nafilah. Seperti tokoh tabi’in, Amir bin Abdillah
at-Tamiimi RHM, tatkala ditanya, “Apakah Anda menyadari situasi ketika Anda
sedang berdiri shalat?” Beliau menjawab, “Ya, saya sadar sedang berdiri di
hadapan Allah, dan pada saatnya nanti pasti akan memasuki satu di antara dua
tempat, jannah atau neraka.” Orang itu berkata, “Bukan itu maksud saya, tetapi
apakah Anda mendengar apa yang kami perbincangkan saat Anda shalat?” Beliau
menjawab, “Tombak menembus tubuhku lebih aku sukai dari pada saya mendengarkan
apa yang kalian perbincangkan sewaktu sedang shalat.”
Rasa khusyuk, menjadikan para ahli
ibadah betah berdiri shalat. Dan seberapa mampu seseorang untuk berdiri shalat,
tidak dipengaruhi oleh kekuatan fisik. Berapa banyak orang yang bertubuh kekar
dan gagah, namun terasa berat dan lemah untuk berdiri shalat. Namun ada pula di
antara hamba Allah yang sudah lanjut usia, lemah tubuhnya, namun terasa nyaman
saat berdiri di hadapan Allah. Seperti yang dialami oleh Abu Ishaq as-Sabi’i
(wafat 127 H), “Sudah lemah tubuhku, dan telah senja usiaku, sehingga hari ini
aku hanya mampu membaca Surat al-Baqarah dan surat Ali Imran saja saat berdiri
shalat.” Allahu akbar, padahal dua surat itu hampir mencapai 3 juz.
Begitulah kekuatan hati berbicara.
Ketika hati sudah cinta, apa yang dirasa berat dijalani orang, baginya akan
terasa ringan. Bagaimana mereka tidak mencintai shalat, padahal itu adalah
momen istimewa bertemu dengan Kekasih sejatinya. Bagaimana tidak bersemangat
seseorang yang bertemu dengan Penciptanya? Pemberi rejeki di dunia dan yang
kuasa memasukkan hamba-Nya ke dalam jannah, tempat segala keinginan akan
terpenuhi? Bagaimana mungkin seseorang akan melewatkan kesempatan emas dan
bergegas untuk menyudahi perjumpaan dengan Kekasih yang paling dicintainya?
Antusias mereka melebihi antusias para pecandu bola saat menyaksikan
pertandingan bola.
Bagaimana pula seseorang berani
sembrono dan main-main di kala shalat, sedangkan dia sedang bermunajat di
hadapan Allah saat sedang shalat? Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي
الصَّلَاةِ ، فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ ، فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
وَلَا عَنْ يَمِينِهِ ، وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ ، تَحْتَ قَدَمِهِ
“Apabila salah seorang di antara
kalian sedang shalat, maka dia sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah
ia meludah di hadapannya, jangan pula di sebelah kanannya, akan tetapi
hendaknya di sebelah kirinya dan di bawah telapak kakinya.” (HR Muslim)
Tak Peduli, Bengkak Kaki karena Lamanya Berdiri
Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam
adalah insan yang paling nyata cintanya kepada Allah. Beliau juga mencintai
shalat yang menjadi konsekuensi cinta seorang hamba kepada Penciptanya. Maka,
beliau sangat menikmati saat-saat berkomunikasi kepada Allah waktu shalat. Telapak
kaki yang bengkak lantaran lamanya berdiri shalat tak dirasakannya, karena
terlalu remeh untuk bisa mengusik kelezatan saat bermunajat kepada Allah. Suatu
malam, Hudzaifah bin Yaman RA shalat bersama Rasulullah SAW. Ketika itu beliau
SAW membaca Surat al-Baqarah, an-Nisa’ dan Ali Imran, sehingga secara
keseluruhan sekitar lima seperempat juz. Hudzaifah juga mengisahkan, “Setiap
beliau bertemu dengan ayat tentang rahmat, beliau memohon rahmat, ketika sampai
pada ayat tasbih, beliau bertasbih, ketika sampai ayat ancaman, beliau memohon
perlindungan kepada Allah.” Sedangkan beliau membacanya dengan tartil,
ayat demi ayat secara perlahan.
Syeikh Utsaimin memberikan gambaran
tentang seberapa lama shalat Nabi SAW dalam kontek kekinian, “Di musim dingin
misalnya, di mana panjangnya waktu malam selama 12 jam, sedangkan Nabi SAW
shalat dua pertiga malam kurang sedikit. Maka terhitung kira-kira Nabi shalat
malam sekitar 7 jam lamanya.”
Ini beliau lakukan, meskipun
dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah, baik yang telah berlalu maupun yang
akan datang. Ketika Aisyah radiyallahu ‘anha bertanya tentang alasan beliau
melaksanakannya, beliau menjawab,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ
عَبْداً شَكُوْرًا
“Apakah aku tidak suka jika menjadi
hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari)
Alangkah jauh generasi ini dengan
panutannya. Kebanyakan mereka tidak berdiri shalat melainkan sebentar, pun
disertai dengan kelalaian hati dan kosongnya penghayatan.
Ini tak lain disebabkan karena
lunturnya kecintaan kepada Allah, dan ada kekasih atau sesuatu yang lebih
mereka cintai daripada Allah. Ia lebih sering mengingat kekasihnya
daripada Rabbnya, lebih mengutamakan ridha kekasihnya daripada ridha Rabbnya.
Lebih suka dekat dengan kekasihnya daripada dekat dengan Rabbnya. Lebih takut
kekasihnya yang marah daripada Allah yangg murka. Mayoritas perhatian dan waktu
tertuju untuk kekasihnya, sedangkan Allah mendapat sisanya. Dan ia begitu
bersemangat dan penuh antusias saat bertemu kekasihnya, namun tatkala bertemu
Allah saat shalat serasa tersiksa, ia laksana berdiri di atas bara, dan ingin
sesegera mungkin untuk menyudahinya. Wal ‘iyaadzu billah. (Abu Umar Abdillah)[]
Langganan:
Postingan (Atom)